Oleh
: Muhammad Agus (201010350311039)
Abstrak
Muhammadiyah
merupakan organisasi yang didirikan K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1912 tepatnya di Jogjakarta.
Organisasi ini didirikan pertama kali karena kegelisahan ahmad dahlan akan
keadaan masyarakat pada saat itu, dimana masyarakat sangat jau dari
kesejahteraaan baik dari pndidikan, agama dan keadaan social. Organisasi muhammadiyah
merupakan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, gerakan social dan pendidikan.Berkembangnya Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat
yang besar di Indonesia yang berdampingan dengan organisasi lainya seperti
Nahdatul Ulama (NU). Besarnya organisai ini ditandai dengan berbagai kiprahnya
yang sukses dalam berbagai bidang kehidupan masyarakatIndonesia. Terbukti
dengan adanya Amal Usaha Muhammadiyah seperti ribuan sekolah, ratusan perguruan
tinggi, rumah sakit yang jumlahnya tidak sedikit, panti asuhan dan amal usaha
lainya. Kiprah Muhammadiyah secara langsung mampu mengawal masyarakat
tradisional- modern hingga ke pos modern seperti saat ini, sehingga
menghantarkan warganya menjadi muslim modernis yang siap mengantisipasi
perkembangan zaman. Dengan perkembangan Muhammadiyah, perlu adanya pemikiran
pada bidang politik Muhammadiyah untuk mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah
amar ma’ruf nahi mungkar. Cacatan sejarah mengungkapkan bahwa tuntutan kelompok
ini tegaknya satu bentuk masyarakat social-ekonomi dan politik Indonesia modern
yang berdasarkan kepada ajaran islam. Contoh keterlibatan muhammadiyah atau
sejumlah tokoh-tokohnya mendirikan PII,MIAI, partai masyumi dan pemusi. Dengan gerakan bidang sosial politik, Muhammadiyah telah
mampu menempatkan diri dalam kedudukan sejajar dalam soal tawar-menawar dengan
pemerintah, sehingga Muhammadiyah hingga saat ini cukup aman dari konflik
kepentingan pemerintah.
Pendahuluan
Awal
berdirinya Muhammadiyah merupakan pergerakan dakwa Amal ma’ruf nahi mungkar.
Bergerak demi terciptanya masyarakat utama adil, makmur dan sejahterah sehingga
terwujud masyarakat islam yang sebener benarnya.Muhammadiyah seperti halnya semua gerakan pembaharuan Islam
di seluruh dunia sudah sejak dini berpendapat bahwa ijtihad tidak pernah
tertutup. Ia terbuka selama-lamanya dengan tujuan untuk aktualisasi ajaran
Islam dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi
Sebagaimana dikatakan Ahmad Syafi’i Maarif
bahwa ijtihad adalah metode berpikir dalam memahami ajaran Islam yang meliputi seluruh
dimensi kehidupan manusia. Tanpa ijtihad Islam dapat kehilangan relevansinya
dengan perkembangan zaman.Untuk itu, perumusan yang tepat terhadap perkembangan
dan perubahan dalam masyarakat, sebagaimana dilansir Menteri Agama H.Tarmidzi
Taher, adalah perwujudan ijtihad, yang merupakan salah satu tema pokok
pandangan Muhammadiyah. Ijtihad di sini tidak sekadar kembali kepada al-Qur’an
dan Sunnah, tetapi juga melihat dan mengkaji relevansi dan kontekstualisasi
ajaran-ajaran Islam dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dengan cara
seperti itu ijtihad dapat fungsional dan menjadi factor penting untuk
mengembangkan umat yang dinamis, yang dengan penuh keyakinan dan percaya diri
siap menghadapi tantangan di masa mendatang.
Dikalangan masyarakat umum banyak yang melihat
muhammadiyah sebagai organisasi gerakan masyarakat yang buta dengan politik
tidak mau bersentuhan dengan politik. Namun, sejatinya muhammadiyah tidak
seperti itu, muhammmadiya memang organisasi keagamaan namu tidak merm politik.
Sepanjang sejarah membuktikan keterlibatan muhammadiyah atau
tokoh-tokohnya yang memperjuangankan
masyrakat dan pengembangan pergerakan
amar ma’ruf nahi mungkar. Untuk menjaga
kemurnian pergerakan sebagai organisasi
keagamaan. Muhammadiya memilih untuk terbebas dari afiliasi dengan kekuatan
orsospol. Sebagaimana ditegaskan dalam "Matan Keyakinan Cita-Cita Hidup,
Muhamrnadiyah" tahun 1986. meski demikian tidak mengisolasikan diri dari
perkembangan politik yang memiliki implikasi langsung terhadap kehidupan umat,
masyarakat, bangsa dan negara. Ini merupakan tradisi yang tumbuh sejak Kongres
Solo (1929), AR Fachruddin, ketua PP Muhammadiyah menyatakan secara sederhana,
bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik, namun tidak "buta"
politik.
Oleh karena itu penulis berusaha menelaah dan
membahas dalam makalah ini dengan judul peran muhammadiyah dalam kanca
perpolitikan di Indonesia
Tujuan
·
Dapat mendeskripsikan
khittah muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
·
Dapat mendeskripsikan
sikap politik muhammadiya dalam sejarah perpolitikan Indonesia
·
Dapat mendeskripsikan
model/bentuk peran politik muhammadiyah
Batasan
masalah
·
Bagaimana khittah
perjuangan muammadiyah dalam erbangsa dan bernegara
·
Bagaimana sikap politik
muhammadiyah dalam sejarah perpolitikan Indonesia
·
Bagaimana model/bentuk
peran politik muhammadiyah
Pembahasan
A.
Khittah
Muhammadiyah Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Khittah artinya garis besar perjuangan.
Khittah mengandung konsepsi (pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan,
pedoman, dan arah berjuang. Hal tersebut mempunyai arti penting karena menjadi
landasan berfikir dan amal usaha bagi semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah.
Dari periode
ke periode Kepemimpinan dalam Muhammadiyah telah dilahirkan beberapa Khittah.
Khittah tersebut disusun mengikuti perkembangan persyarikatan dari masa ke
masa. Isi suatu Khittah sesuai dengan dasar dan tujuan Muhammadiyah serta
menunjukkan situasi masa dalam satu periode. Begitu pula sasaran yang
akan dicapai dalam suatu periode tergambar dalam suatu khittah. Umumnya suatu
khittah bersifat pembinaan kepemimpinan dan bimbingan untuk berjuang bagi para
anggota Muhammadiyah.
Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut
seluruh aspek kehidupan meliputi: aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah
duniawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam
kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut
Muhamadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan agama Islam menjadi
rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
Adapun Khittah Denpasar tahun 2002 atau Khittah Muhammadiyah
dalam Berbangsa dan Bernegara yang bersifat lengkap itu berisi sembilan butir
pernyataan pokok, yaitu sebagai berikut:
1.
Muhammadiyah
meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu
aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat)
yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur
agama dan moral yang utama.
2.
Muhammadiyah
meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan
masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk
membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur
bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian,
ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya “Baldatun Thayyibatun
Wa Rabbun Ghafur”.
3.
Muhammadiyah
memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha
pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil
society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
4.
Muhammadiyah
mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau
berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh
partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan
sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan
berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara.
5.
Muhammadiyah
senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap
berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah
secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana
pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan
berkeadaban.
6.
Muhammadiyah
tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan
kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa
mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan
fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya
sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
7.
Muhammadiyah
memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak
pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan
hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang
dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan
Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
8.
Muhammadiyah
meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar
melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan
mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq
al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah).
Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi
Persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar.
9.
Muhammadiyah
senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip
kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju,
demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan
bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi
melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan
sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan
Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam
langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan
cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai
wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa
Rabbun Ghafur”.
B.
Sikap
Politik Muhammadiyah Dalam Sejarah Perpolitikan Indonesia
Muhammadiyah sebelum penjajahan Jepang
Muhammadiyah didirikan di Kampung
Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H /18 Nopember 1912 oleh
Muhammad Darwis yang kemudian dikenal K.H. Ahmad Dahlan, seorang pegawai
Kesultanan Yogyakarta yang bertindak sebagai khatib dan bekerja sebagai pedagang.
Organisasi ini didirikannya untuk mengorganisir kegiatannya mengajak kembali ke
Qur'an dan Hadits yang pada mulanya mengalami penolakan namun kemudian
berangsur-angsur diterima tidak hanya di Kauman tapi di tempat-tempat
perdagangannya di luar Yogya bahkan hingga ke luar Pulau Jawa. Di samping
pengajian kepada kaum laki-laki, K.H. Ahmad Dahlan juga mengadakan pengajian
kepada kaum ibu-ibu yang diberi nama "Sidratul Muntaha".
Tahun 1913-1918 beliau mendirikan 5
buah Sekolah Dasar. Tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah yang
kemudian pada tahun 1921 diganti namanya menjadi Kweek School Muhammadiyah.
Sekolah ini pada tahun 1923 dipecah menjadi dua, untuk laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1930 namanya diganti menjadi Muallimin dan Muallimat.
Selanjutnya Muhammadiyah mendirikan
organisasi untuk kaum perempuan Aisyiyah yang dipimpin istrinya Ny. Walidah
Ahmad Dahlan. Aisyiyah bermula dari badan otonom SAPATRESNA, kelompok pengajian
wanita yang didirikan pada tahun 1914. Nama Aisyiyah digunakan sejak tahun
1920. Pada tahun 1918 Muhammadiyah mendirikan organisasi kepanduan yang bernama
Hizbul Wathan. Tahun 1920 dibentuk media massa yang dinamai Suara Muhammadiyah.
Pada tahun 1927 Muhammadiyah mempunyai 176 cabang, dan Aisyiyah mempunyai 68
cabang yang tersebar di seluruh kekuasaan Hindia Belanda.
Sesuai dengan kondisi Hindia
Belanda yang saat itu gerakan kepartaian dibatasi, Muhammadiyah lebih banyak
bergerak di bidang sosial. Sampai dikeluarkannya aturan disiplin pada SI tahun
1928, Fachruddin tokoh Muhammadiyah berkiprah di SI, bahkan sampai menduduki
Bendahara.
Era Jepang
Pada tahun 1937, yakni tanggal 21
September 1937, Muhammadiyah bersama Nachdliyah mendirikan MIAI (MAjelis Islam
A'la Indonesia) yang diwakili oleh K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah, K.H.
Abdul Wahab Chasbullah dari Nachdliyah, dan K.H. Ahmad Dahlan mewakili
organisasi non-partai/ormas. Meskipun MIAI bukan bergerak di bidang politik,
tetapi MIAIlah yang kemudian menjadi embrio Masyumi. MIAI dibubarkan oleh
Jepang pada tahun 1943 dan menggantikannya dengan Masyumi yang di dalamnya juga
terdapat Muhammadiyah. Pada tahun 1937 pula, K.H. Mas Mansyur bersama
Dr.Sukiman Wirjosanjaya mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) sebagai
penimbangan atas sikap non-kooperatif dari PSII.
Era Kemerdekaan
Pada tanggal 7-8 November 1945,
Masyumi tempat bernaung Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya memutuskan untuk
mengusung suatu misi yakni kemerdekaan. Masyumi menjadi partai politik yang
amat kental perjuangannya dalam era kemerdekaan. Sudirman, kepala Hizbul Wathan
diangkat menjadi pemimpin TNI. Tahun 1947 Muhammadiyah membentukan Angkatan
Perang Sabil (SPS) dengan Ketua Hajid, Wakil Ketua A.Badawi dan penasihat Ki
Bagus Hadikusumo.
Pasca Kemerdekaan
Muhammadiyah aktif di Masyumi pasca
kemerdekaan. Pada waktu pemilu 1955 Muhammadiyah masih bergabung dengan Masyumi
meski NU waktu itu sudah keluar dan menjadi peserta Pemilu. Seiring dengan
menurunnya "keuntungan-keuntungan politik" yang didapat Muhammadiyah
selaku anggota istimewa Masyumi, Sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 memutuskan
meninjau ulang keanggotaan istimewa Muhammadiyah di Masyumi. Pada sidang tanwir
1959 Muhammadiyah resmi keluar dari Masyumi.
Era Orde Baru
K.H. Faqih Usman dari Muhammadiyah
dan Dr.Anwar Haryono pernah mengirimkan surat kepada Soeharto untuk mencabut
larangan terhadap partai masyumi. Nota Faqih Usman tersebut tidak ditanggapi.
Selanjutnya Muhammadiyah dan bekas pendukung masyumi mendirikan Parmusi, yang
pasca Pemilu 1971 berfusi ke PPP.
Era Reformasi
Pada bulan Agustus 1998, Amien
Rais, Ketua Muhammadiyah saat itu mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) yang
mendapat dukungan dan fasilitasi dari Muhammadiyah. Pengajuan Bambang Sudibyo
dan Hatta Rajasa yang dua kali menjadi menteri dari PAN, menimbulkan disharmoni
PAN dan Muhammadiyah. Ketidakpuasan terhadap PAN menyebabkan generasi muda
Muhammadiyah melahirkan partai sendiri yakni Partai Matahari Bangsa pada
tanggal 26 November 2006.
C.
Bentuk
Peran Politik Muhammadiyah
Khittah
Muhammadiyah bagaimanapun lengkapnya tidaklah sempurna, selalu terdapat celah
kekurangan. Tetapi dengan Khittah terdapat garis pembatas
sekaligus bingkai bahwa Muhammadiyah sejatinya berposisi dan
berperan sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial-keagamaan) yang bergerak
dalam lapangan pembangunan masyarakat, sebaliknya Muhammadiyah bukanlah
organisasi politik atau yang berperan sebagaimana organisasi politik seperti
halnya partai politik dengan segala aktivitasnya dalam perjuangan kekuasaan di
ranah negara atau pemerintahan. Namun baik organisasi kemasyarakatan maupun
organisasi politik melalui jalur yang berbada tetap bertemu dalam satu titik
yaitu bersama-sama membangun bangsa dan negara. Karenanya baik ormas
keagamaan/kemasyarakatan maupun partai politik memiliki posisi dan peran yang
berbeda tetapi sama-sama penting dan strategis dalam membangun kehidupan bangsa
dan negara.
Muhammadiyah
akan menjadi salah posisi dan tidak tepat manakala dipandang dan diposisikan
dari sudut partai politik atau kepentingan perjuangan kekuasaan yang bersifat
praktis. Partai politik dan perjuangan politik kekuasaan itu sendiri memang
penting dan strategis tetapi juga bukan segala-galanya. Urusan bangsa dan
negara terlalu penting hanya diserahkan dan menjadi garapan partai politik dan
sekadar kepentingan perjuangan kekuasaan belaka. Lebih dari itu kenyataan juga
menunjukkan bahwa kehidupan partai politik dan perjuangan politik kekuasaan
sebagaimana menjadi agenda utama urusan politik tidaklah serba ideal
sebagaimana dibayangkan oleh para pendukung politik praktis. Dalam sejumlah
hal, untuk tidak menyatakan banyak hal, ranah politik kekuasaan bahkan
seringkali sarat masalah, sehingga bukan sekadar dunia yang indah. Seorang
pimpinan partai politik di negeri ini berangkat dari pengalamannya di lapangan
bahkan sempat menyatakan bahwa politik itu dalam praktiknya sungguh jahat dan
kotor, kendati tentu saja dalam sisi lain politik itu juga menunjukkan nilai
luhur terutama ketika dibingkai moral dan sepenuhnya memperjuangkan hajat hidup
bangsa dan negara.
Jika sebagian
pandangan menyatakan hasil kerja politik itu luar biasa bagaikan memancing ikan
hiu, sedangkan dakwah sekadar mengail ikan teri, sesungguhnya tidak selamanya
demikian. Ketika menang memang besar ikan tangkapannya, tetapi manakala kalah
juga tak kalah besar jatuh dan bangkrutnya. Ormas-ormas Islam yang di masa lalu
jaya kemudian berubah menjadi partai politik pada akhirnya juga tenggelam, atau
ketika menjadi partai politik kemudian sarat masalah sedangkan urusan dakwah
kemasyarakatannya terlantar. Partai politik Islam yang di masa lalu jaya
kemudian mati dan menjadi beban sejarah atau partai-partai politik yang
demikian ideal sejak awal tetapi setelah di perjalanan bagaikan kacang lupa
kulit, sehingga resikonya pun tak kalah bera. Kerja politik dapat menghasilkan
menteri atau posisi strategis di kekuasaan, tetapi pada saat yang sama
kehilangan menteri atau jabatan kekuasaan karena tawar menawar politik selalu
disertai pertukaran kepentingan, akhirnya dapat satu kehilangan satu.
Perjuangan di ranah politik pun selalu diwarnai prgamatisasi yang luar biasa
sehingga konlik, intrik, saling jegal, politik uang, dan masalah-masalah
perebutan kepentingan menjadi sangat vulgar dan terbuka. Hal-hal yang demikian
jangan diabaikan dari neraca politik, sehingga dunia politik kendati sekali
lagi penting dan strategis, tidak seindah sebagaimana yang diagungkan para
pejuang politik kekuasaan.
Adapun
gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan memang kelihatan genggaman tangannya tak
seberapa, mungkin kecil dan mengais-ngais. Tetapi dalam jangka panjang sering
tidak kalah besar hasil dan manfaatnya. Kalau berandai-andai bahwa Muhammadiyah
menjadi partai politik atau terus bergumul dalam perjuangan politik mungkin
meraih sukses besar, tetapi juga terbuka kemungkinan bangkrut besar sehingga
tidak seperti sekarang memiliki 171 perguruan tinggi, ribuan sekolah dan taman
kanak-kanak, puluhan rumah sakit, ratusan balai pengobatan dan panti asuhan,
dan lebih penting lagi masih mengakar di masyarakat luas dengan kepercayaan
yang melekat di dalamnya. Ketika sesekali masuk ke ranah perjuangan atau
dukungan politik, sering dengan mudah kritik dan peluruhan kepercayaan
mengemuka ke ruang publik. Muhammadiyah juga tidak akan memiliki basis sosial
yang kuat dalam berdakwah, sehingga boleh jadi kehilangan kepercayaan dari umat
atau masyarakat, yang lama kelamaan surut dan mengecil sebagaimana ormas Islam
yang lebih dulu lahir dan kemudian nyaris hilang dari peredaran. Pertimbangan
yang demikian juga perlu dikemukakan dan menjadi perhatian agar tidak dengan
mudah menegasikan posisi dan peran penting Muhammadiyah karena demikian kuat
hasrat membawa gerakan Islam ini masuk ke kancah perjuangan politik-praktis
baik langsung maupun tidak langsung. Politik sekali lagi penting dan strategis,
tetapi juga ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lebih-lebih dakwah
kemasyarakatan tak kalah penting dan strategisnya manakala ditekuni, digarap,
dikelola, dan diperjuangkan sepenuh hati dengan istiqamah.
Karena itu,
Muhammadiyah baik dengan Khittah maupun tanpa Khittah, sesungguhnya telah
berada di jalur yang tepat, sebagaimana pihak atau organisasi lain yang
mengambil jalur perjuangan politik sama tepatnya, manakala semuanya dilakukan
dengan terfokus, optimal, sungguh-sungguh, dan lebih penting lagi dengan
mengerahkan segala potensi dan berpijak pada idealisme. Kepalan tangan yang
kecil dalam jalur gerakan dakwah kemasyarakatan manakala disatukan dari ratusan
ribua hingga jutaan warga Muhammadiyah dalam menyangga gerakan Islam ini insya
Allah akan melahirkan karya amaliah yang luar biasa.
Dalam posisi
yang demikian maka sebagaimana Khittah Denpasar, Muhammadiyah dengan tetap
berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan
orientasi utama gerakannya, dapat mengembangkan fungsi kelompok
kepentingan atau sebagai gerakan sosial civil-society dalam memainkan
peran berbangsa dan bernegara tanpa harus bergumul dalam kancah perjuangan
politik-praktis sebagaimana partai politik. Muhammadiyah sebagai gerakan
sosial-keagamaan yang memerankan fungsi kelompok kepentingan sebagai kekuatan
masyarakat madaniah merupakan format yang tepat dalam memainkan peran
politik-kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang
maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita
nasional kemerdekaan tahun 1945.
Muhammadiyah
sebagai kelompok kepentingan dapat memainkan peran politik lobi, komunikasi
politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, melakukan kritik atau tekanan
publik, dan distribusi kader politik atau kader profesional lainnya yang dapat
masuk ke seluruh lini pemerintahan. Peran kelompok kepentingan tersebut dengan
tetap dilakukan berdasarkan spirit dakwah al-amr bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an
al-munkar, yang dilakukan dengan pendekatan berwajah kultural dan tidak
sebagaimana peran politisi dan partai politik yang sering bersifat serba
terbuka, vulgar, dan sarat tawar menawar kepentingan yang bersifat pragmatis.
Dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan tersebut dapat dilakukan melalui
kelembagaan sesuai mekanisme yang berlaku dalam Muhammadiyah maupun
perseorangan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip, etika, dan kepentingan
Muhammadiyah.
Kendati
fungsi kelompok kepentingan sebagai aktualisasi peran politik kebangsaan selaku
kekuatan masyarakat madaniyah dan wujud dari peran amar makruf dan nahi munkar,
Muhammadiyah dan para pelaku gerakannya tetap harus memperhatikan
prinsip-prinsip dan etika organisasi termasuk di dalamnya komitmen pada
Khittah Muhammadiyah. Tidak boleh karena alasan menjalankan fungsi kelompok
kepentingan kemudian terjebak pada langkah politik-praktis dan menjadikan
organisasi sebagai pertaruhan politik, karena sampai batas tertentu pula
melalui fungsi kelompok kepentingan akan terjadi proses politik-praktis
manakala tidak dijaga jarak dan keseimbangan dalam menjalankannya. Baik dalam
mendukung (amar makruf) maupun mengkritisi (nahi munkar) kebijakan pemerintah
misalnya manakala dilakukan melampaui garis Khittah dan kepatutan organisasi
maka pada akhirnya akan bermuara pada proses politik-praktis pula. Hingga di
sini faktor etika gerakan dan kearifan dalam menjalankan fungsi kelompok
kepentingan dari para pelaku gerakan menjadi penting dalam Muhammadiyah. Segala
sesuatu dan langkah harus tetap berada dalam koridor organisasi dan tidak
melampaui batas takaran. Hal tersebut kelihatan rumit atau konservatif
tetapi apapun dalam menjalankan amanah organisasi memang perlu garis pembatas,
kearifan, dan pertimbangan yang matang karena menyangkut sistem dan amanat
gerakan yang tidak boleh dipertaruhkan dengan sembarangan tanpa mekanisme dan
etika organisasi yang membingkai.
Kesantunan,
objektivitas, moralitas atau akhlak, dan kearifan dalam menjaga
batas-batas prinsip gerakan maupun dalam menjalankan fungsi kelompok
kepentingan tetap diperlukan dari seluruh pelaku gerakan Muhammadiyah. Hindari
pemaksaan kehendak, berjalan sendiri tanpa memperhatikan koridor organisasi,
dan sikap berlebihan atau melampaui takaran dalam menjalankan fungsi politik
kepentingan atasnama Muhammadiyah. Sebab manakala peran atau fungsi kelompok
kepentingan itu dilakukan melampaui takaran atau kebablasan maka proses dan
hasil akhirnya akan sama dengan fungsi atau peran partai politik dan masuk ke
kancah atau jalur perjuangan politik-praktis. Pada situasi yang demikian
maka selain selalu memperhatikan spirit dan binkai Khittah maupun
prinsip-prinsip organisasi yang selama inimenjadi manhaj gerakan Muhammadiyah,
pada saat yang sama perlu dikedepankan kearifan dan etika dari para elite atau
pelaku gerakan kelompok kepentingan dan Muhammadiyah secara keseluruhan. Di
sinilah integrasi antara koridor organisasi dan akhlak politik setiap
anggota Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah menjadi sangat penting dan harus menjadi pijakan bagi setiap
kader, elite,dan pimpinan Persyarikatana dalam kancah kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam
mengoptimalkan peran Muhammadiyah dalam politik kebangsaan dapat dikembangkan
pula jaringan kader politik kebangsaan, baik yang berada dan
melalui jalur partai politik dan lembaga legislatif, maupun di jalur lembaga
eksekutif dan yudikatif serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Jika
secara kelembagaan Muhammadiyah tidak memainkan fungsi politik-praktis, maka
secara fungsional dan non-institusional dapat dikembangkan jaringan kader politik
sebagai langkah pengembangan potensi kader di berbagai struktur kelembagaan di
luar organisasi. Pengembangan jaringan kader politik atau kader kebangsaan
tersebut berfungsi sebagai kepanjangan tangan atau anak panah gerakan
Muhammadiyah. Dengan demikian sekaligus dapat dipecahkan kesenjangan hubungan
antara kader politik / kader bangsa dengan Persyarikatan yang selama ini sampai
batas tertentu menjadi keluhan sementara pihak. Lebih jauh lagi melalui
jaringan kader politik kebangsaan tersebut dapat diptimalkan misi Muhammadiyah
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui para kadernya di ranah
kebangsaan.
Agar peran
kader politik kebangsan tersebut dapat dioptimalkan bagi kepentingan misi
Muhammadiyah maka diperlukan usaha-usaha pemahaman misi ideologi gerakan bagi
para kader bangsa tersebut. Muhammadiyah tentu akan terus mendorong para
kadernya yang berkiprah di dunia politik-praktis maupun di berbagai jalur
kehidupan lainnya secara positif, karena dakwah memang memerlukan penyangga
dari seluruh lini dan struktur kehidupan. Namun para kader politik atau
kader bangsa dari Muhammadiyah tersebut seyogyianya terus memupuk idealisme,
prinsip, etika, dan modal dasar yang kuat atau memadai untuk berkiprah di ranah
politik-praktis atau di ranah kebangsaan, selain faktor
kemampuan-kemampuan objektif yang diperlukan sebagaimana layaknya pelaku
politik yang idealis dan profesional.
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammadiyah
oraganisasi yang bergerak dibidang keagamaan dengan maksud berdakwa amal ma’ruf
nahi mungkar dengan segaala lini kehidupan masyarakat. Muhammadiyah juga
melakukan gerakan politik, namun bukan politik praktis, perpolitikan
muhammadiyah berdasarkan khitta perjuangan muhammadiyah yang dibuat sebagai
batasan gerak politik muhammadiyah.
Muhammadiyah
dengan Khittah dan manhaj gerakan yang melandasai serta membingkainya dapat
memainkan peran kebangsaan secara lebih proaktif melalui aktualisasi
kerja-kerja dakwah kemasyarakatan yang lebih progresif, baik untuk memperkuat
basis civil-society maupun penguatan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Khittah
perjuangan Muhammadiyah ini harus dapat mencerminkan pemudah muhammadiyah dalam
menjalankan fungsinya organisasi modern yang berorientasi masa depan. Selain
itu, Khittah perjuangan harus menjadi variabel pengubah kultural dalam
berorganisasi kader-kader pemuda Muhammadiyah ke arah yang lebih baik, agar
kultural hasanah mereka dalam setiap nadi gerakan Pemuda Muhammadiyah, maka
diperlukan upaya pembumian semangat saling menasehati dalam kebaikan dan
kesabaran dan saling berlomba-lomba untuk menuju cinta dan kasih sayang Allah.
Pemuda Muhammadiyah melandasi perjuangan pada cita-cita Muhammadiyah untuk
menciptakan masyarakat islam yang sebenar-benarnya
DAFTAR
PUSTAKA
Nasir,
haedar,2011. Aktualisasi khitta muhammadiya dan format peran politik
kebangsaan, blog.spot .com
Prasetyo
hendro dan Ali munhanif, 2002. Islam dan civil society, pandangan muslim
Indonesia. Jakarta : Gramedia pustaka utama
Sartono Kartodirjo, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode
Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Suwarno, 2001. Muhammadiyah Sebagai Oposisi. Yogyakarta: UII
Press
Rais amien, 1998. Membangun
Pilitik Adiluhung. Bandung : Zaman Wacana Mulia